Kamis, 01 Juni 2017
Kisah Motivasi dan Inspirasi
Hanya Mendengarkan Ceramah, Pria Tua Ini Meninggal Berbau Harum di Bawah Naungan Bedug!
Di jaman modern seperti sekarang ini, nilai-nilai agama seakan-akan telah luntur dari sendi-sendi kehidupan karena habisnya waktu mereka bekerja dan bekerja semaksimal mungkin untuk meraih ambisi keduniawian. Beberapa orang menganggap ritual-ritual ibadah yang hanya beberapa saat itu bahkan menambah ilmu agama dengan mendengarkan ceramah agama Islam justru menghabiskan waktu produktif mereka saat bekerja.
Layaknya kisah berikut ini, dimana banyak orang yang menyepelekan ceramah dan tak tahu bahwa dengan mendengarkannya pun kita bisa menjadi orang yang benar-benar bertaqwa kepada Allah SWT. Asal kita mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk menjadi orang yang lebih baik. Mengapa bisa begitu? Karena inilah sebuah gambaran dari seorang kakek yang meninggal dalam naungan bedug karena ceramah.
Sebut saja nama Pak Paiman (nama samaran). Seorang kakek tua yang tinggal bersama keluarga anak sulungnya di sebuah dusun di kota Indramayu (juga nama kota samaran).
Selayaknya seorang yang sudah tua. Sering kali pikun dan memang merepotkan orang lain. Pun kali ini, setelah digilir untuk tinggal dari keluarga anak satu ke anak yang lain. Saat inipun ketika giliran tinggal bersama anak laki-lakinya yang sulung, tentu merepotkan anaknya. Terlebih karena anaknya adalah seorang yang sangat sibuk dengan urusan bisnis, akhirnya Pak Paiman harus beruring-uringan setiap hari dengan menantunya dan anaknya tersebut.
Pernah di suatu sore, pak Paiman sedang khusyu' mendengarkan ceramah agama dari sebuah radio. Karena kurang terdengar, volume radio itu beliau keraskan, namun kurang jelas juga, terus beliau keraskan lantas kurang keras juga, terus beliau keraskan hingga seisi rumah terdengar dengan suara ceramah yang bercampur dengan suara sinyal gemerisek radio yang kurang bagus.
Si menantu datang, dan mengatakan pada beliau untuk mengecilkan suara radionya, namun tentu tak dihiraukan karena memang suara si menantu itu tak terdengar baginya.
Adanya Pak Paiman bagi keluarga si sulung sangat menjengkelkan, hingga akhirnya di suatu sore datanglah tiga orang dengan berpakaian gamis. Satu orang dengan wajah penuh senyum mengetuk pintu. Pintu rumah di buka oleh anak si sulung, setelah mempersilahkan masuk. Kemudian giliran orang kedua yang berbicara pada si sulung bahwa di Masjid sedang ada ceramah yang diadakan oleh beberapa orang selama tiga hari.
“Lusa kami akan pindah masjid, Kang!” Ucap orang ketiga yang sedari tadi sibuk berdzikir.
Esok paginya, si Sulung datang ke Masjid bersama pak Paiman. Pak Paiman mengikuti semua kegaiatan –si Sulung pulang- yang diadakan di masjid tersebut; taklim pagi, bayan dhuhur, mudzakaroh ba’da dzuhur, dzikir ba’da Asyar, bayan magrib. Bahkan karena kebetulan saat itu hari kamis malam jumat, pak Paiman juga ikut buka puasa bersama meskipun memang Pak Paiman nggak puasa.
Esok paginya ketika jamaah hendak pamit untuk pindah ke masjid yang lain, Pak Paiman ingin ikut. Berbekal beberapa rupiah dan ijin dari si sulung –tentu saja dengan senang hati mengijinkan- beliau pun ikut jamaah untuk pindah ke Masjid lain.
Jamaah bukannya merasa kerepotan, namun justru inilah bentuk mengamalkan amalan ikromul muslimin (memuliakan sesama muslim).
Setelah 40 Hari selesai, menghidupkan amal agama dari satu masjid ke masjid yang lain. Pak Paiman pun pulang. Dua hari kemudian ada ajakan lagi untuk kembali menghidupkan amal agama dari masjid ke masjid selama 4 bulan, namun kali ini dengan orang-orang yang berbeda.
Si sulung pun bersemangat mengijinkan dan memberikan bekal yang cukup banyak untuk Pak Paiman selama 4 bulan tersebut.
Hingga di suatu pagi, jamaah itu sampai di sebuah desa yang jauh dari pemukiman kota. Ada sesuatu yang mengingatkan Pak Paiman hingga beliau seperti pernah tinggal di desa tersebut. Perasaan yang teduh lagi nyaman. Keadaan yang membuat Pak Paiman seakan-akan ingin tinggal lebih lama di desa tersebut.
Sore hari setelah musyawaroh dan dzikir bersama, diputuskan bahwa Pak Paiman ketika itu ikut keluar –Masjid- mengunjungi rumah orang-orang sekitar Masjid untuk ikut mengamalkan amal agama. Kali ini giliran Pak Paiman sebagai dalil –mengetuk pintu-pintu rumah- yang bertugas sebagai penunjuk jalan.
Sudah hampir empat puluh lima menit, namun Pak Paiman masih bersemangat untuk berjalan-jalan keliling bersama dua orang lainnya. Karena hari hampir menjelang maghrib, Pak Paiman pun kembali ke masjid.
Lantaran kelelahan, sambil mendengarkan seseorang yang sedang tadarus menunggu waktu maghrib tiba, Pak Paiman bersandar di bawah bedug masjid, sesekali berbaring.
Waktu maghrib pun tiba, adzan berkumandang. Setelah bayan magrib selesai, seseorang yang tengah menyiapkan makanan untuk jamaah mencium bau yang sangat harum di sekitar area Masjid.
Setelah di telusuri, wangi harum itu berasal dari bedug. Ketika tirai penutup bedug dibuka, beberapa orang nampak takjub mendapati Pak Paiman yang sudah terbujur kaku dengan senyum merekah di bibir.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun,” Pak Paiman yang hanya memiliki kebiasaan mendengarkan ceramah, meninggal dengan keadaan yang sangat baik.
Satu hal penting betapa bahwa amalan yang kecil namun istiqomah untuk diamalkan itu lebih baik daripada amalan yang besar namun hanya dilakukan sebulan sekali atau setahun sekali atau bahkan lima tahun sekali. MasyaAllah, sudahkah terketuk pintu hatimu sekarang ini? Bukan untuk menyimpulkan bahwa ibadah lain tak penting.
Namun ketika kita melakukan sebuah ibadah secara rutin karena Allah Ta'ala, maka bisa saja kebaikan yang kita terima pun meskipun sedikit tapi juga rutin dan kita pun akan terus bersyukur kepada-Nya.
Di jaman modern seperti sekarang ini, nilai-nilai agama seakan-akan telah luntur dari sendi-sendi kehidupan karena habisnya waktu mereka bekerja dan bekerja semaksimal mungkin untuk meraih ambisi keduniawian. Beberapa orang menganggap ritual-ritual ibadah yang hanya beberapa saat itu bahkan menambah ilmu agama dengan mendengarkan ceramah agama Islam justru menghabiskan waktu produktif mereka saat bekerja.
Layaknya kisah berikut ini, dimana banyak orang yang menyepelekan ceramah dan tak tahu bahwa dengan mendengarkannya pun kita bisa menjadi orang yang benar-benar bertaqwa kepada Allah SWT. Asal kita mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk menjadi orang yang lebih baik. Mengapa bisa begitu? Karena inilah sebuah gambaran dari seorang kakek yang meninggal dalam naungan bedug karena ceramah.
Sebut saja nama Pak Paiman (nama samaran). Seorang kakek tua yang tinggal bersama keluarga anak sulungnya di sebuah dusun di kota Indramayu (juga nama kota samaran).
Selayaknya seorang yang sudah tua. Sering kali pikun dan memang merepotkan orang lain. Pun kali ini, setelah digilir untuk tinggal dari keluarga anak satu ke anak yang lain. Saat inipun ketika giliran tinggal bersama anak laki-lakinya yang sulung, tentu merepotkan anaknya. Terlebih karena anaknya adalah seorang yang sangat sibuk dengan urusan bisnis, akhirnya Pak Paiman harus beruring-uringan setiap hari dengan menantunya dan anaknya tersebut.
Pernah di suatu sore, pak Paiman sedang khusyu' mendengarkan ceramah agama dari sebuah radio. Karena kurang terdengar, volume radio itu beliau keraskan, namun kurang jelas juga, terus beliau keraskan lantas kurang keras juga, terus beliau keraskan hingga seisi rumah terdengar dengan suara ceramah yang bercampur dengan suara sinyal gemerisek radio yang kurang bagus.
Si menantu datang, dan mengatakan pada beliau untuk mengecilkan suara radionya, namun tentu tak dihiraukan karena memang suara si menantu itu tak terdengar baginya.
Adanya Pak Paiman bagi keluarga si sulung sangat menjengkelkan, hingga akhirnya di suatu sore datanglah tiga orang dengan berpakaian gamis. Satu orang dengan wajah penuh senyum mengetuk pintu. Pintu rumah di buka oleh anak si sulung, setelah mempersilahkan masuk. Kemudian giliran orang kedua yang berbicara pada si sulung bahwa di Masjid sedang ada ceramah yang diadakan oleh beberapa orang selama tiga hari.
“Lusa kami akan pindah masjid, Kang!” Ucap orang ketiga yang sedari tadi sibuk berdzikir.
Esok paginya, si Sulung datang ke Masjid bersama pak Paiman. Pak Paiman mengikuti semua kegaiatan –si Sulung pulang- yang diadakan di masjid tersebut; taklim pagi, bayan dhuhur, mudzakaroh ba’da dzuhur, dzikir ba’da Asyar, bayan magrib. Bahkan karena kebetulan saat itu hari kamis malam jumat, pak Paiman juga ikut buka puasa bersama meskipun memang Pak Paiman nggak puasa.
Esok paginya ketika jamaah hendak pamit untuk pindah ke masjid yang lain, Pak Paiman ingin ikut. Berbekal beberapa rupiah dan ijin dari si sulung –tentu saja dengan senang hati mengijinkan- beliau pun ikut jamaah untuk pindah ke Masjid lain.
Jamaah bukannya merasa kerepotan, namun justru inilah bentuk mengamalkan amalan ikromul muslimin (memuliakan sesama muslim).
Setelah 40 Hari selesai, menghidupkan amal agama dari satu masjid ke masjid yang lain. Pak Paiman pun pulang. Dua hari kemudian ada ajakan lagi untuk kembali menghidupkan amal agama dari masjid ke masjid selama 4 bulan, namun kali ini dengan orang-orang yang berbeda.
Si sulung pun bersemangat mengijinkan dan memberikan bekal yang cukup banyak untuk Pak Paiman selama 4 bulan tersebut.
Hingga di suatu pagi, jamaah itu sampai di sebuah desa yang jauh dari pemukiman kota. Ada sesuatu yang mengingatkan Pak Paiman hingga beliau seperti pernah tinggal di desa tersebut. Perasaan yang teduh lagi nyaman. Keadaan yang membuat Pak Paiman seakan-akan ingin tinggal lebih lama di desa tersebut.
Sore hari setelah musyawaroh dan dzikir bersama, diputuskan bahwa Pak Paiman ketika itu ikut keluar –Masjid- mengunjungi rumah orang-orang sekitar Masjid untuk ikut mengamalkan amal agama. Kali ini giliran Pak Paiman sebagai dalil –mengetuk pintu-pintu rumah- yang bertugas sebagai penunjuk jalan.
Sudah hampir empat puluh lima menit, namun Pak Paiman masih bersemangat untuk berjalan-jalan keliling bersama dua orang lainnya. Karena hari hampir menjelang maghrib, Pak Paiman pun kembali ke masjid.
Lantaran kelelahan, sambil mendengarkan seseorang yang sedang tadarus menunggu waktu maghrib tiba, Pak Paiman bersandar di bawah bedug masjid, sesekali berbaring.
Waktu maghrib pun tiba, adzan berkumandang. Setelah bayan magrib selesai, seseorang yang tengah menyiapkan makanan untuk jamaah mencium bau yang sangat harum di sekitar area Masjid.
Setelah di telusuri, wangi harum itu berasal dari bedug. Ketika tirai penutup bedug dibuka, beberapa orang nampak takjub mendapati Pak Paiman yang sudah terbujur kaku dengan senyum merekah di bibir.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun,” Pak Paiman yang hanya memiliki kebiasaan mendengarkan ceramah, meninggal dengan keadaan yang sangat baik.
Satu hal penting betapa bahwa amalan yang kecil namun istiqomah untuk diamalkan itu lebih baik daripada amalan yang besar namun hanya dilakukan sebulan sekali atau setahun sekali atau bahkan lima tahun sekali. MasyaAllah, sudahkah terketuk pintu hatimu sekarang ini? Bukan untuk menyimpulkan bahwa ibadah lain tak penting.
Namun ketika kita melakukan sebuah ibadah secara rutin karena Allah Ta'ala, maka bisa saja kebaikan yang kita terima pun meskipun sedikit tapi juga rutin dan kita pun akan terus bersyukur kepada-Nya.