loading...

Urutan dan Cara Bersuci Jika Ada Luka Baik Tertutup Maupun Terbuka




Kemarin ada 2 teman yang jatuh dari motor berboncengan, satu tangannya bengkak masih belum bisa digerakan. Namun satu lagi kakinya patah. Tentu saja ada luka lecet hingga patah yang mengharuskan perban melekat.
Dan siapa yang mau mendapat musibah seperti ini. Semua orang tak mau. Karena itu jarang yang berjaga-jaga bagaimana nanti shalatnya saat mengalami hal sperti ini, apakah harus membasuh luka, atau tayamum saja.

Jadi saat sudah kejadian, 2 teman ini bertanya kepada ustadz, bagaimana jika terdapat luka pada bagian anggota wudhu. Misalnya pada kaki/tangan/wajah dan tertutup plester, apakah harus diusap? Kapan harus tayammum?

Mengutip muslimafiyah.com, di antara penjelasan ulama yang cukup ringkas dan rinci adalah penjelasan syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata,

” قال العلماء رحمهم الله تعالى : إن الجرح ونحوه إما أن يكون مكشوفاً أو مستوراً . فإن كان مكشوفاً فالواجب غسله بالماء , فإن تعذر غسله بالماء فالمسح للجرح , فإن تعذر المسح فالتيمم , وهذا على الترتيب .
وإن كان مستوراً بما يسوغ ستره به , فليس فيه إلا المسح فقط ، فإن ضره المسح مع كونه مستوراً فيعدل إلى التيمم , كما لو كان مكشوفاً ,

Para ulama menjelasakan, luka itu bisa terbuka atau tertutup.

Jika Luka Terbuka:


  • Maka wajib membasuhnya dengan air
  • Jika tidak bisa dibasuh dengan air (bahaya) maka diusap saja (dilewatkan di atasnya)
  • Jika tidak bisa maka silahkan Tayammum


Itulah urutannya.

Jika Luka Tertutup (semisal ditutup gips atau perban):


  • Maka dengan cara mengusapnya (yang ditutup)
  • Jika dengan mengusapnya meskipun ditutup juga menimbukan bahaya, maka beralih ke tayammum, sebagaimana juga jika luka terbuka (Syarhul Mumti’ 1/169)

Catatan:

Darah yang keluar dari luka ketika telah bersuci ataupun ketika shalat maka TIDAK membatalkan wudhu maupun membatalkan shalat. Karena pendapat terkuat darah tidak najis dan terdapat riwayat beberapa sahabat shalat dengan baju didarah mereka dan mengalir darah dari luka.

Pendapat yang menyatakan darah tidak najis lebih kuat, dengan beberapa alasan:

Pertama: hukum asal sesuatu suci, sampai ada dalil yang mengharamkan.

Kedua: makna rijs (dalam surat Al-An’am 145) maknanya bukan najis secara hakikat akan tetapi najis maknawi. Sebagaiman Allah Ta’ala berfirman tentang kaum munafikin,

“Berpalinglah kalian darinya karena sesungguhnya mereka adalah rijs,” (QS. At-Taubah: 95). Yakni najis kekafirannya tapi tidak najis tubuhnya.

Ketiga: para sahabat dahulunya berperang dengan luka di tubuh dan baju tetapi tidak ada perintah untuk membesihkannya.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

مَا زَالَ الْمُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِى جِرَاحَاتِهِمْ

“Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam keadaan luka.” (HR. Bukhari secara mu’allaq)

Begitu juga kisah ketika Umar bin Khattab ditusuk oleh Abu Lu’luah, beliau berkata,

وَلَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Lalu ‘Umar shalat dalam keadaan darah yang masih mengalir.” (HR. Malik dalam Muwatha’nya, 2/54)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

ليُعلم أنَّ الدم الخارج من الإنسان من غير السبيلين لا ينقض الوضوء، لا قليله ُ ولا كثيرهُ كدم الرُّعاف، ودم الجرح

“Perlu diketahui bahwa darah yang keluar dari manusia selain dua jalan (keluar dari qubul dan dubur) tidak membatalkan wudhu baik sedikit ataupun banyak semisal darah mimisan dan darah yang keluar dari luka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il syaikh Utaimin)

Demikiam semoga bermanfaat.